Pergeseran Pola Putusan Pengadilan Agama Pasca Berlakunya Kompilasi Hukum Islam (Studi di Pengadilan Agama Surakarta)
Dalam konteks Indonesia, peradilan agama sudah berusia cukup tua, akan tetapi tidak memiliki buku standar yang dapat dijadikan rujukan layaknya KUHPer atau KUHAP. Untuk itulah, menurut Munawir Sadzali perlu dibentuk suatu produk hukum yang dapat dijadikan landasan hakim dalam memutuskan perkara yan...
Saved in:
Main Author: | |
---|---|
Format: | Thesis |
Language: | English English |
Published: |
2006
|
Subjects: | |
Online Access: | https://eprints.ums.ac.id/6750/ |
Tags: |
Add Tag
No Tags, Be the first to tag this record!
|
Summary: | Dalam konteks Indonesia, peradilan agama sudah berusia cukup tua, akan tetapi tidak memiliki buku standar yang dapat dijadikan rujukan layaknya KUHPer atau KUHAP. Untuk
itulah, menurut Munawir Sadzali perlu dibentuk suatu produk hukum yang dapat dijadikan landasan hakim dalam memutuskan perkara yang pada tahun 1985 pemerintah memprakarsai
proyek KHI dan diselesaikan pada tahun 1988. Adapun proses penyusunan Kompilasi Hukum Indonesia (KHI) telah melibatkan representasi dari kalangan umat Islam (Ulama, Ormas,
Akademisi dan sebagainya). Acuan yang digunakan dalam pembuatan KHI adalah Al-Qur’an dan As Sunnah, pendekatan kompromi dengan hukum adat, 38 kitab Fiqh modern dan
merumuskan suatu yang baru dan belum terdapat nash.
Langkah yang ditempuh dalam merumuskan KHI di antaranya menyiapkan permasalahan (masail), membahas buku-buku Fiqh, menelusuri sejarah yurispudensi Island dan melakukan study banding. Pada akhirnya, proyek antara Mahkamah Agung dan Menteri Agama itu kemudian ditandatangani Presiden berupa Inpres No 1 Tahun 1991 pada tanggal 1 0Juni 1991 yang berisi panduan bidang perkawinan, waris dan wakaf.
Terlepas dari kekurangan HKI, seiring perkembangan waktu, KHI sudah mampu disosialisasikan kepada khalayak ramai dan juga telah dijadikan acuan oleh Pengadilan Agama Surakarta (PA Suarkarta) dalam memutuskan perkara. Dalam pada itu, secara langsung atau tidak, Pengadilan Agama yang dalam hal ini seorang hakim telah mengalami pergeseran pola putusan yang sebelumnya mengacu pada 13 kitab Fiqh, kini telah berkiblat pada KHI.
Titik tekan penelitian ini adalah akan melihat sejauh mana pergeseran pola putusan yang dikeluarkan PA Surakarta pasca berlakunya KHI yang tentunya akan disertakan bagaimana pola putusan PA Surakarta sebelum diberlakukan KHI. Selanjuutnya akan dilihat bagaimana refleksi kedepan tentang penerapan hukum Islam dalam konteks Indonesia. Setelah mengambil sampel putusan yang ada pada PA Surakarta dari tahun 1986
sampai dengan tahun 1995 meskipun perkara yang diterima PA Surakarta hanya berkisar pada persoalan perkawinan (cerai dan talak), ternyata tidak terdapat pergeseran pola putusan.
Asumsi awal yang mengatakan bahwa munculnya KHI adalah dalam rangka memudahkan para hakim dalam memutuskan pekara, tidak terjadi. Fenomena ini menggambarkan bahwa selain KHI tidak termasuk dalam struktur hukum di Indonesia yang berimplikasi pada keengganan hakim dalam menggunakannya, juga karena ketidaksempurnaannya. Berangkat dari uraian diatas, keinginan untuk meningkatkan frekwensi KHI menjadi
Undang-undang merupakan tugas yang tidak dapat ditunda-tunda. Upaya itu disebut Cik Hasan Bisri dengan sebutan Supra Struktur Hukum. Ia mengatakan bahwa untuk mengembangkan hukum] Islam secara garis besar melelui dua saluran, yaitu, Infra Struktur dan Supra Struktur. Saluran pertama meliputi pranata hukum] dan organisasi hukum],
sedangkan saluran kedua meliputi badan legislative, administrasi pemerintahan, dan badan peradilan.
Dengan lebih terperinci Topo Santoso berpendapat bahwa untuk melembagakan hukum Islam dengan cara, pertama, mengubah konstitusi. Kedua, mengubah sistem hukum nasional menjadi sistem hukum Islam. Ketiga, Islamisasi hukum nasional. Keempat, perluasan kompetensi peradilan agama. Kelima, memasukkan unsur/konsep hukum Islam tertentu dalam
hukum nasional. Keenam, optimalisasi UU pemerintahan daerah. Jika itu semua benar-benar dilakukan, maka hukum Islam sebagai pedoman masyarakat bukan lagi sebagai ideal law, tetapi sudah menjadi the living law, atau sebagai hukum yang betul-betul hidup dalam masyarakat. |
---|